Api Penyucian 7 - Purgatorium - Purgatory - Purgatorio - 炼狱 - 煉獄 - Liànyù
A depiction of purgatory by Venezuelan painter Cristóbal Rojas (1890) representing the boundary between heaven (above) and hell (below)
El Purgatorio (1890). Óleo sobre tela 339 x 256 cm.
API PENYUCIAN
romo M. Purwatma, Pr.
“Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga” (KGK 1030). Keadaan yang digambarkan dalam kutipan Katekismus Gereja Katolik itulah yang disebut dengan Api Penyucian. Secara singkat digambarkan sebagai keadaan antara sorga dan neraka. Api penyucian bukanlah neraka, karena orang-orang yang ada di neraka adalah orang-orang yang secara definitif menolak Allah, ketika mati tidak berada dalam status rahmat. Namun demikian, orang-orang yang berada dalam api penyucian belum masuk surga, meski pasti akan masuk surga, karena masih harus dimurnikan dari dosa-dosanya. Mereka yang berada dalam api penyucian ini membutuhkan doa umat yang masih hidup. Bagaimana ajaran Gereja Katolik mengenai api penyucian ini dapat dipahami. Tulisan ini mencoba menelusuri perkembangan paham dalam tradisi Gereja Katolik.
1. Dasar dalam Kitab Suci
Pandangan mengenai api penyucian berkaitan erat dengan pandangan mengenai hidup sesudah mati. Perjanjian Lama pada awalnya tidak mengenal hidup sesudah mati. Kematian dipahami sebagai tidur dalam keabadaian, masuk dalam dunia orang mati, “ke negeri yang gelap dan kelam pekat, ke negeri yang gelap gulita, tempat yang kelam dan pekat dan kacau balau, di mana cahaya terang serupa dengan kegelapan” (Ayb 10:21-22). Dalam dunia orang mati ini “tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat” (Pkh 9:10). Dengan demikian, kematian berarti sungguh-sunggu keterpisahan. Pertama-tama keterpisahan dari Allah, tetapi juga keterpisahan dari manusia lainnya. Orang mati tidak dapat dihubungi lagi. Gagasan seperti ini juga masih hidup pada jaman Yesus. Pertanyaan orang-orang saduki mengenai perempuan yang secara berturut-turut dinikahi oleh tujuh bersaudara (Mat 22:23-33; Mrk 12:18-27; Luk 20:27-40) menunjukkan ketidakpercayaan mereka akan kebangkitan badan.
Namun demikian pelan-pelan berkembang pula paham mengenai kebangkitan badan dan kehidupan setelah kematian. Berkembangnya sastra apokaliptik mempengaruhi gagasan mengenai kematian. Orang mati mulai mendapat perhatian, dan nasib orang mati mulai dikaitkan dengan apa yang mereka perbuat selama hidup. Apa yang dialami oleh orang-orang mati mulai dipahami berbeda-beda menurut perbuatan mereka di dunia. Mereka akan dihakimi menurut perbuatan mereka di dunia, “dan banyak orang-orang yang telah tidur di debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal” (Dan 12:2).
Penegasan mengenai relasi keadaan mereka yang sudah meninggal ditampilkan oleh Kitab 2 Makabe 12:43-45: ”Kemudian dikumpulkannya uang di tengah-tengah pasukan. Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapus dosa. Ini sungguh suatu perbuatan yang sangat baik dan tepat, oleh karena Yudas memikirkan kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati. Lagipula Yudas ingat bahwa tersedialah pahala yang amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka”. Dengan demikian 2 Makabe menegaskan penghakiman bagi yang meninggal, tetapi sekaligus memberikan gagasan baru bahwa orang yang sudah meninggal dapat ditolong oleh mereka yang masih hidup.
Teks Perjanjian Baru yang paling tegas berbicara mengenai api penyucian ialah 1 Kor 3:10-15, namun gagasan itu juga dapat diketemukan dalam Mat 5:25-26; Mat 12:31-32; Luk 12:48; 2 Tim 1:16, 1 Kor 15:29. Paulus mengatakan: “sekali kelak pekerjaan masing-masing akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing akan diuji oleh api. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari api” (1 Kor 3:13-15). Di sini Paulus tidak hanya menegaskan bahwa setiap orang beriman akan diuji menurut pekerjaannya, tetapi juga ada keadaan orang beriman yang harus menanggung akibat dari perbuatannya, meski ia tetap selamat. Dari sini gambaran api penyucian lebih dipahami sebagai pemurnian orang-orang yang sudah diterima Tuhan, orang-orang yang sudah diselamatkan tetapi masih harus menanggung akibat dari perbuatan-perbuatannya yang tidak tahan uji.
2. Kesaksian Bapa-Bapa Gereja
Sejak awal Bapa-Bapa Gereja memberi kesaksian akan adanya keadaan tempat orang-orang beriman yang sudah meninggal disucikan. Kesaksian paling awal dari iman akan api penyucian muncul dalam tulisan berjudul Kemartiran Perpetua dan Felisitas (th. 203). Perpetua sudah dijatuhi hukuman mati, karena tidak mau meninggalkan imannya. Ketika sedang berdoa, ia melihat Dinokrates, adiknya yang sudah meninggal dan mengajak rekan-rekannya untuk berdoa bagi adiknya itu. Ia melihat adiknya keluar dari tempat yang kotor, gelap, pengap, panas, dan ada jurang di antara mereka. Di sampingnya ada kolam, tetapi tidak dapat dicapai. Perpetua berdoa untuk adiknya itu. Beberapa hari kemudian ia melihat adiknya dalam keadaan bersih dan segar. Ia telah dibebaskan dari siksaan yang berat. Inilah kesaksian dari tulisan mengenai kemartiran Perpetua dan Felisitas. Banyak tulisan semacam ini yang memberikan gambaran bahwa api penyucian itu sungguh ada dan orang-orang beriman yang ada di sana dapat disucikan melalui doa orang-orang yang lebih hidup.
Selain itu, Bapa-Bapa Gereja juga memberikan gambaran apa itu api penyucian. Tertullianus berpendapat bahwa hanya para martirlah yang langsung dapat menikmati kemuliaan surgawi, sementara jiwa-jiwa orang beriman yang lain harus menunggu kebangkitan badan (Tentang Kebangkitan Badan, 43). Pada saat penantian itulah, jiwa-jiwa harus disucikan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Jiwa itu harus menanggung kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya, sambil menunggu kesatuan dengan badan di hari kebangkitan badan (Tentang Jiwa, 58). Jiwa-jiwa ini dapat dibantu dengan doa-doa orang-orang yang masih hidup, agar menikmati istirahat kekal. Tertullianus mengusulkan terutama pada peringatan meninggalnya (Tentang Monogami, 10).
Agustinus juga menegaskan bahwa setiap orang akan menanggung akibat dari setiap perbuatan yang dilakukannya, entah di dunia sekarang atau di dunia yang akan datang sebelum kebangkitan badan. Dalam masa penyucian itulah orang dapat memperoleh pengampunan dari dosa-dosa yang belum sempat diampuni selama hidup di dunia (Tentang Kota Allah, XI, 13). Jiwa-jiwa di api penyucian dapat dibantu dengan korban dan doa-doa umat beriman yang masih hidup (Kotbah 172,2).
Masih banyak kesaksian Bapa Gereja mengenai api penyucian dan perlunya mendoakan mereka yang berada di api penyucian. Secara umum api penyucian haruslah dipahami sebagai saat pemurnian akibat dosa-dosa yang dilakukan selama masih di dunia. Tentu bukan dosa yang membawa maut.
3. Ajaran Resmi Gereja
Penegasan resmi Gereja dapat dilacak dari beberapa konsili yang mengajarkan mengenai api penyucian. Paus Innocentius IV dalam suratnya kepada Uskup Frascati (1254) menegaskan pengakuan iman bahwa orang beriman yang sudah menerima pengampunan dosa tetapi belum penuh, atau mereka yang tidak berada dalam dosa berat, ada dalam penyucian setelah kematian dan dapat dibantu dengan doa-doa umat beriman. Mereka ini berada di api penyucian (purgatorium), untuk menyucikan dari dosa-dosa kecil yang belum diampuni, tetapi tidak dari dosa yang mematikan (DS 838). Pernyataan ini kemudian ditegaskan lagi dalam Konsili Lyon II pada tahun 1274 dalam pengakuan iman Kaisar Michael Paleologus (DS 856). Konsili juga menegaskan bahwa ada kemungkinan jiwa langsung masuk ke surga, bila orang beriman setelah dibaptis tidak berdosa lagi atau sudah sungguh-sungguh dilepaskan dari dosa-dosa (DS 857).
Konsili Firenze melalui Dekrit untuk orang-orang Yunani (1439) menegaskan kembali pandangan mengenai saat penyucian bagi jiwa-jiwa yang masih membawa dosa yang belum diampuni. Maka ada tiga situasi jiwa-jiwa orang beriman setelah kematian. Yang pertama, ialah mereka yang meninggal dalam rahmat, tetapi belum mendapatkan kepenuhan buah pengampunan dosa, mereka ini masih perlu disucikan di api penyucian. Mereka dapat dibantu oleh doa-doa, kurban, yang dilakukan oleh umat beriman (DS 1304). Yang kedua, mereka yang setelah baptis sungguh-sungguh tak bercela dan tanpa noda dosa, mereka ini boleh langsung masuk ke sorga, dan memandang Allah dari muka ke muka (DS 1305). Yang ketiga, mereka yang berada dalam dosa maut, dosa besar masuk ke neraka (DS 1306). Ajaran ini kemudian ditegaskan lagi pada Konsili Trente ketika Gereja berhadapan dengan reformasi Protestan.
Konsili Vatikan menempatkan jiwa-jiwa di api penyucian dalam kesatuan dengan keseluruhan anggota-anggota Gereja. Konsili menyatakan bahwa di antara anggota-anggota Gereja ada “yang masih harus mengembara di dunia, dan ada yang sudah meninggal dan mengalami penyucian, ada pula yang menikmati kemuliaan sambil memandang ‘dengan jelas Allah Tritunggal sendiri sebagaimana adaNya”. Namun demikian, ketiga keadaan anggota-anggota Gereja itu “saling berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama ke hadirat Allah kita” (LG 49). Secara khusus berkaitan dengan keadaan mereka yang sudah meninggal dan masih harus mengalami penyucian, Konsili Vatikan II menegaskan pernyataan-pernyataan konsili-konsili sebelumnya. Konsili Vatikan II menempatkan jiwa-jiwa di api penyucian sebagai anggota-anggota Gereja yang masih harus dimurnikan, yang tetap berada dalam kesatuan dengan seluruh anggota Gereja. Maka tugas mereka yang di dunia ini untuk mendoakan mereka.
Kesimpulan
Dari penelusuran Kitab Suci maupun tradisi Gereja nampaklah bahwa mereka yang ada dalam api penyucian adalah orang-orang yang mati dalam rahmat. Artinya api penyucian bukanlah bagian dari neraka, tetapi merupakan proses untuk sampai pada kepenuhan kemuliaan sorgawi. Memang Gereja mengakui ada orang-orang yang langsung sampai pada kemuliaan sorgawi, tanpa melalui api penyucian, yaitu mereka yang setelah baptis sungguh-sungguh tidak berdosa lagi, ataupun setelah berdosa sudah mendapatkan pengampunan secara penuh. Mereka ini langsung bersatu dalam kemuliaan surgawi. Namun demikian seringkali buah pengampunan dosa belum dapat dinikmati sepenuhnya selama ada di dunia, sebagaimana akibat dosa seringkali masih tertinggal ketika orang sudah diampuni dosanya. Hal ini menjadi hambatan bagi manusia untuk menanggapi kasih Allah meski ia percaya bahwa Allah mengasihinya tanpa memperhitungkan dosa-dosanya. Inilah yang masih perlu dimurnikan. Untuk itu diperlukan bantuan mereka yang masih berada di dunia ini.
M. Purwatma, Pr.
Daftar Bacaan
Klinger, E. 1986 “Purgatory”, dalam K. Rahner (ed.), Encyclopedia of Theology. The Concise of Sacramentum Mundi, Burns & Oates, 1317-1320.
Ombres, R. , 1978 The Theology of Purgatory, Theolog Today Series 24, Dublin and Cork: The Mercier Press.
Rahner, K. 1983 “Purgatory”, dalam Theological Investigations 19: Faith and Ministry, translated by Edward Quinn, London: Darton, Longman & Todd, 181-193.
Schouppe, FX. 1988 Purgatory. Explained by The Lives and Legends of the Saints, Rockford, Illinois: Tan Books and Publishers.
2007a Apa benar Api Penyucian Ada? Kesaksian Otentik Pujanga Gereja dan Para Kudus, disadur oleh FA. Suprapto dan I. Marsana Windhu, Yogyakarta: Tabora Media.
2007b 7 Cara Hindari Api Penyucian. Kesaksian Otentik Pujanga Gereja dan Para Kudus, disadur oleh FA. Suprapto dan I. Marsana Windhu, Yogyakarta: Tabora Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar