Eskatologi 20 - Eschatology - 末世论 - 末世論 - Mò shìlùn
Katekese tentang Api   Penyucian
Saya datang   atas nama Tuhan. Mengapa saya berdiri di mimbar hari ini, saudara-saudaraku   terkasih? Apa yang hendak saya sampaikan kepada kalian? Ah! Saya datang atas   nama Tuhan Sendiri. Saya datang atas nama orangtua kalian yang malang, untuk   membangkitkan dalam diri kalian perasaan cinta dan terima kasih atas hutang   budi kalian terhadap mereka. Saya datang untuk membangkitkan kembali   kenangan akan segala cinta dan kasih sayang yang mereka limpahkan kepada   kalian semasa mereka hidup di dunia. Saya datang untuk mengatakan kepada   kalian bahwa sekarang mereka menderita di Api Penyucian, bahwa mereka   meratap, dan bahwa mereka memohon dengan seruan yang menyayat, pertolongan   lewat doa-doa dan karya amal kasih kalian. Seakan-akan saya mendengar   ratap-tangis mereka dari kedalaman api yang melalap mereka, “Katakan kepada   mereka yang kami kasihi, katakan kepada anak-anak kami, katakan kepada   segenap sanak saudara, betapa dahsyat siksa yang menjadikan kami begitu   menderita. Tersungkur di bawah kaki mereka, kami mohon dengan sangat   pertolongan lewat doa-doa mereka. Ah! Katakan kepada mereka bahwa sejak kami   terpisah dari mereka, kami berada di sini, terpanggang dalam api! Oh! Adakah   yang tidak tergerak hatinya terhadap siksa hebat yang kami derita ini?”
Kalian   lihat, saudara-saudaraku terkasih, apakah kalian mendengar ibu yang penuh   kasih sayang, bapa yang penuh perhatian, dan segenap sanak saudara yang   menolong serta merawat kalian? “Sahabat-sahabatku,” demikian mereka berseru,   “bebaskan kami dari derita ini; kalian dapat melakukannya.” Jadi,   pikirkanlah saudara-saudaraku: (a) betapa dahsyat siksa yang harus diderita   jiwa-jiwa di Api Penyucian; dan (b) sarana-sarana yang kita miliki untuk   meringankan penderitaan mereka: doa-doa kita, karya amal kasih kita, dan di   atas segalanya, kurban kudus dalam Perayaan Ekaristi. Saya tidak bermaksud   berhenti pada tahap ini untuk membuktikan kepada kalian akan keberadaan Api   Penyucian. Hal itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Tak seorang pun di   antara kalian yang ragu sedikit pun mengenai hal itu. Gereja, yang kepadanya   Yesus Kristus telah menjanjikan bimbingan Roh Kudus dan yang, dengan   demikian, tak dapat salah ataupun menyesatkan kita, mengajarkan tentang Api   Penyucian dengan sangat jelas dan tegas. Pasti, sungguh pasti, bahwa ada   suatu keadaan di mana jiwa-jiwa orang benar harus melunasi hutang dosa (=   siksa dosa temporal) mereka sebelum diperkenankan masuk dalam kemuliaan   Surgawi, yang memang dipastikan bagi mereka. Ya, saudara-saudaraku terkasih,   dan menurut ketentuan iman: jika kita belum melakukan penyilihan yang   sebanding dengan beratnya dosa-dosa kita, walaupun telah memperoleh   pengampunan melalui Sakramen Tobat yang kudus, kita wajib melunasi hutang   dosa itu terlebih dahulu…. 
Dalam Kitab   Suci ada banyak ayat yang menunjukkan dengan jelas bahwa meskipun dosa-dosa   kita telah diampuni, Tuhan masih menghendaki kita membayar hutang dosa kita   di dunia ini dengan menanggung penderitaan sementara atau di kehidupan yang   akan datang melalui Api Penyucian. Lihat, apa yang terjadi pada Adam. Karena   ia bertobat setelah berbuat dosa, Tuhan meyakinkannya bahwa Ia sudah   mengampuni dosa-dosanya, namun demikian Tuhan menghukumnya dengan silih   selama sembilan ratus tahun, silih yang melampaui segala sesuatu yang dapat   kita bayangkan. Lagi, Daud memerintahkan, bertentangan dengan kehendak   Tuhan, agar menghitung jumlah rakyatnya, tetapi terdorong oleh sesal   mendalam, ia menyadari dosanya; merebahkan diri ke tanah, dengan sangat ia   mohon pengampunan Tuhan. Tuhan, tergerak oleh belas kasihan atas tobatnya,   sungguh mengampuni dia. Namun demikian, Ia memerintahkan nabi Gad untuk   menyampaikan kepada Daud bahwa ia harus memilih satu di antara tiga tulah   yang dihadapkan Tuhan kepadanya sebagai hukuman atas kesalahannya: penyakit   sampar, perang, atau bencana kelaparan. Daud menjawab, “Kiranya kita jatuh   ke dalam tangan TUHAN, sebab besar kasih sayang-Nya; tetapi janganlah aku   jatuh ke dalam tangan manusia.” Tuhan mendatangkan penyakit sampar atas   bangsa Israel selama tiga hari lamanya yang menewaskan tujuh puluh ribu   rakyatnya. Jika Tuhan tidak menahan tangan malaikat, yang teracung atas kota   itu, niscaya seluruh Yerusalem tentu telah dimusnahkannya! Daud, melihat   begitu dahsyat penderitaan yang terjadi akibat dosanya, mohon belas kasihan   Tuhan untuk menghukum dia seorang serta membebaskan rakyatnya yang tidak   bersalah. Lihat juga air mata pertobatan St. Maria Magdalena; mungkin itu   dapat sedikit melegakan hati kalian. Sayang sekali, saudara-saudaraku   terkasih, jika demikian, berapa lamakah kita harus melewatkan tahun-tahun   sengsara dalam Api Penyucian, kita yang memiliki begitu banyak dosa, kita   yang, mengakukan dosa-dosa kita dengan berbagai macam dalih, tidak melakukan   silih dan tidak meneteskan air mata pertobatan?
Berapa   tahun siksakah yang harus kita derita di kehidupan yang akan datang? Tetapi   bagaimana jika Bapa yang kudus mengatakan kepada kita bahwa sengsara yang   mereka derita di tempat ini seolah sama dengan sengsara yang diderita Tuhan   Yesus Kristus dalam Senggsara-Nya yang ngeri, perlukah saya melukiskan bagi   kalian sebuah gambar hati yang terkoyak karena sengsara yang harus diderita   oleh jiwa-jiwa malang ini? Tetapi, saya yakin bahwa jika sengsara paling   ringan yang harus diderita Kristus itu dibagi-bagikan di antara umat   manusia, pastilah mereka semua akan mati oleh karena kekejian dan kengerian   sengsara-Nya yang sedemikian itu. Api Penyucian sama dengan api neraka:   bedanya ialah api penyucian tidak untuk selamanya. Oh! Seandainya saja Allah   dalam belas kasihan-Nya yang begitu besar mengijinkan satu di antara   jiwa-jiwa malang itu, yang terpanggang dalam api penyucian, menampakkan diri   di tempat saya ini, dengan dilingkupi sepenuhnya oleh api yang melalapnya,   dan seandainya ia sendiri melitanikan sengsara yang ia derita, maka gereja   ini, saudara-saudaraku terkasih, akan bergaung dengan jeritan serta ratap   tangisnya yang pilu, yang mungkin, pada akhirnya dapat menggerakkan hati   kalian. Oh! “Betapa menderitanya kami!” jerit mereka kepada kita.
Oh! Kalian,   saudara-saudaraku, bebaskan kami dari siksa ini! Kalian dapat melakukannya!   Ah, andai saja kalian pernah mengalami sengsara karena terpisah dari Tuhan!   … Perpisahan yang kejam! Terbakar dalam api yang berkobar karena keadilan   Allah! … Menderita sengsara yang melampaui pengertian manusia yang fana! …   Dikuasai sesal mendalam, mengetahui bahwa sesungguhnya dengan mudah kita   dapat menghindari penderitaan-penderitaan itu! … Oh! Anak-anakku, jerit para   bapak dan ibu, begitu tegakah kalian menelantarkan kami begitu saja, kami   yang sangat mengasihi kalian? Dapatkah kalian tidur nyenyak dan membiarkan   kami terpanggang di atas tempat tidur api? Bersediakah kalian menjauhkan   diri dari segala kesenangan dan kegembiraan sementara kami di sini menderita   dan meratap tangis siang dan malam? Kalian mewarisi kekayaan kami, rumah   kami, kalian menikmati buah-buah usaha kami, dan kalian menelantarkan kami   di sini, di tempat siksa ini, di mana kami menderita sengsara yang ngeri   selama bertahun-tahun! … Dan tak ada amal kasih sama sekali, tak ada   Perayaan Misa satu kali pun yang dapat membantu membebaskan kami! … Kalian   dapat meringankan sengsara kami, kalian dapat membebaskan belenggu kami,   namun demikian kalian menelantarkan kami. Oh! Betapa kejam segala siksa ini!   … Ya, saudara-saudaraku terkasih, orang menilai dengan cara yang sangat   berbeda ketika berada dalam api penyucian, tentang segala   kesalahan-kesalahan ringan, jika memang mungkin menyebut segala kesalahan   yang menyebabkan kita menderita siksa yang begitu hebat itu ringan. Alangkah   celakanya manusia, Nabi Kerajaan berseru, bahkan orang yang paling benar   sekali pun, jika Tuhan menghakimi tanpa belas kasihan. Jika Tuhan mengenali   lubang-lubang pada matahari dan kejahatan di antara para malaikat, terlebih   lagi Ia mengenali orang berdosa. Dan kita, yang telah melakukan begitu   banyak dosa berat dan yang hampir-hampir tidak melakukan apa pun untuk   memuaskan keadilan Allah, berapa lamakah tahun-tahun sengsara dalam Api   Penyucian!
“Tuhanku,”   tanya St. Teresa, “jiwa yang bagaimanakah yang murni serta pantas masuk ke   dalam surga tanpa melalui api yang mengerikan?” Dalam sakit sebelum ajalnya,   sekonyong-konyong St. Teresa berseru, “O keadilan dan kekuasaan Allah-ku,   betapa dahsyatnya!” Dalam penderitaannya itu, Tuhan mengijinkan St. Teresa   melihat kekudusan-Nya seperti para malaikat dan para kudus melihat-Nya di   surga, yang menyebabkannya gemetar ketakutan hingga para biarawatinya,   melihatnya gemetar dan gelisah luar biasa, berbicara kepadanya dengan   menangis, “Ah! Moeder, apakah yang terjadi padamu; pastilah engkau tidak   takut menghadapi maut setelah begitu banyak silih dan begitu banyak air mata   kepahitan?” “Tidak, puteri-puteriku,” jawab St. Teresa, “Aku tidak takut   mati; malahan sebaliknya, aku merindukannya agar aku dapat bersatu selamanya   dengan Tuhan-ku.” “Jika demikian, adakah dosa-dosamu yang menakutkan engkau,   setelah begitu banyak laku silih?” “Ya, puteri-puteriku,” katanya kepada   mereka. “Aku sungguh ngeri akan dosa-dosaku, tetapi ada satu hal lain yang   membuatku lebih ngeri.” “Apakah pengadilan terakhir?” “Ya, aku gemetar dan   ngeri akan pertanggungjawaban yang harus disampaikan kepada Tuhan, Yang,   pada saat itu, akan tanpa belas kasihan, tetapi ada satu hal lain yang   memikirkannya saja akan membuatku mati ketakutan.” Para biarawati malang itu   semakin cemas. “Aduh! Apakah itu Neraka?” “Bukan,” katanya. “Neraka, syukur   kepada Tuhan, bukan untukku. Oh! Puteri-puteriku, hal itu adalah kekudusan   Allah. Tuhan-ku, berbelas kasihanlah kepadaku! Hidupku harus dihadapkan muka   dengan muka dengan Yesus Kristus Sendiri! Celakalah aku, jika padaku   didapati cela atau noda betapa pun kecilnya! Celakalah aku, bahkan apabila   aku ada di ambang dosa!” “Celaka!” seru para biarawati yang malang itu.   “Bagaimanakah dengan kematian kami!” Jika demikian, bagaimanakah dengan   kematian kita, saudara-saudaraku terkasih, kita yang, mungkin dengan segala   silih dan perbuatan amal kasih kita, masih belum dapat melunaskan hutang   dosa atas satu dosa yang telah diampuni dalam Sakramen Tobat?
Ah! Betapa   tahun-tahun dan abad-abad sengsara akan menyiksa kita! … Betapa mahal kita   harus membayar untuk segala kesalahan yang kita anggap sepele, seperti   bohong-bohong kecil yang kita katakan untuk menyenangkan diri kita sendiri,   gosip-gosip remeh, memandang rendah rahmat yang Tuhan limpahkan kepada kita   setiap saat, dengan sungut dan keluhan atas pencobaan yang Ia hadapkan   kepada kita! Tidak, saudara-saudaraku terkasih, kita tidak akan pernah   memiliki keberanian untuk melakukan dosa, bahkan yang terkecil sekali pun,   andai saja kita dapat memahami betapa hebat dosa tersebut menyakiti hati   Allah dan karenanya, betapa layak ia dihukum dengan berat, bahkan semasa di   dunia ini. Tuhan itu adil, saudara-saudaraku terkasih, dalam segala   tindakan-Nya. Ia mengganjari kita atas perbuatan kita yang baik, bahkan yang   paling remeh sekali pun, dan Ia melakukannya dengan berlimpah serta   melampaui segala yang dapat kita bayangkan. Suatu pikiran yang baik, suatu   kehendak baik, misalnya kehendak untuk melakukan suatu perbuatan baik,   walaupun kita tidak dapat melakukannya, tak pernah Ia membiarkannya lewat   tanpa mengganjarinya. Demikian juga, dalam hal menghukum kita, dilakukan-Nya   dengan tegas, dan meskipun pada kita didapati-Nya hanya satu kesalahan   ringan, kita tetap harus dikirim ke Api Penyucian. Benarlah demikian, kita   dapat melihatnya dalam hidup para kudus, banyak di antara mereka yang tidak   langsung menuju surga, melainkan harus terlebih dahulu melewati Api   Penyucian. 
St. Petrus   Damianus mengatakan bahwa saudarinya tinggal beberapa tahun lamanya di api   penyucian sebab ia mendengarkan sebuah lagu yang tidak pantas dengan sedikit   kesenangan. Dikisahkan juga bahwa dua orang religius saling berjanji satu   sama lain bahwa siapa yang meninggal dunia terlebih dahulu akan datang untuk   mengatakan kepada saudaranya yang masih tinggal tentang keadaannya di alam   baka. Tuhan mengijinkan ia yang meninggal terlebih dahulu untuk menampakkan   diri kepada sahabatnya. Ia mengatakan bahwa ia tinggal lima belas tahun   lamanya di api penyucian karena ia terlalu suka menuruti kemauannya sendiri.   Dan sementara sahabatnya memujinya karena tinggal di sana untuk waktu yang   singkat saja, ia yang telah wafat itu berkata, “Saya jauh lebih suka dihukum   terus-menerus selama sepuluh ribu tahun semasa hidup di dunia, sebab   penderitaan itu bahkan tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang aku   derita dalam api penyucian.” Seorang imam mengatakan kepada salah seorang   temannya bahwa Tuhan telah menghukumnya untuk tinggal di api penyucian   selama beberapa bulan oleh sebab menahan dilakukannya suatu kehendak yang   dimaksudkan untuk suatu perbuatan baik. Sungguh sayang, saudara-saudaraku   terkasih, berapa banyak di antara mereka yang mendengarkan saya memiliki   kesalahan yang sama?
Berapa   banyak, mungkin, mereka yang dalam masa delapan atau sepuluh tahun menerima   permintaan dari orangtua atau teman untuk suatu intensi Misa dan stipendiun   pun telah diberikan, tetapi mereka menjadikan segala sesuatunya sia-sia!   Berapa banyak mereka yang, karena takut kalau-kalau suatu perbuatan baik   tertentu harus dilakukannya, tidak mau merepotkan diri dengan melihat   kehendak baik yang dilakukan oleh orangtua ataupun teman-teman bagi mereka?   Sayang sekali, jiwa-jiwa malang ini masih tertahan dalam api penyucian sebab   tak seorang pun yang berhasrat untuk memenuhi keinginan terakhir mereka!  
Para bapak   dan ibu yang malang, kalian berkurban demi kebahagiaan anak-anak serta   cucu-cicit kalian! Kalian mungkin telah mengabaikan keselamatan diri kalian   sendiri demi menambah kesejahteraan mereka. Kalian tertipu oleh   perbuatan-perbuatan baik yang kalian lakukan demi hasrat kalian itu! … Para   orangtua yang malang! Betapa butanya kalian sehingga melupakan diri kalian   sendiri! … Mungkin kalian akan mengatakan kepada saya, “Orangtua kami hidup   mapan; mereka adalah orang-orang yang sangat baik.” Ah! Mereka akan segera   masuk dalam kobaran api! Lihat apa yang dikatakan mengenai hal ini oleh St.   Albertus Agung, seorang kudus yang kebajikannya bersinar dengan cara yang   luarbiasa. Suatu hari ia menampakkan diri kepada salah seorang sahabatnya,   mengatakan bahwa Tuhan telah membawanya ke api penyucian oleh karena ia   sedikit terlena oleh rasa puas diri karena pengetahuannya. Hal yang paling   membuat kita terperanjat adalah ternyata banyak para kudus di sana, bahkan   mereka yang telah dibeatifikasi, yang harus melewati api penyucian. St.   Severinus, Uskup Agung Cologne, menampakkan diri kepada salah seorang   temannya lama setelah ia wafat dan mengatakan bahwa ia ada di api penyucian   karena menunda hingga sore, doa yang harus didaraskannya pada pagi hari. Oh!   Berapa lamakah tahun-tahun sengsara dalam api penyucian bagi umat Kristiani   yang sama sekali tidak merasa bersalah menunda doa-doa mereka ke lain waktu   dengan alasan harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendesak! Jika kita   sungguh merindukan kebahagiaan bersama Tuhan, patutlah kita menghindari baik   dosa-dosa ringan maupun dosa-dosa berat, sebab terpisah dari Tuhan sungguh   merupakan suatu siksa yang mengerikan bagi segenap jiwa-jiwa malang ini!
  sumber : “Sermon on Purgatory by Saint John Vianney”;    www.catholic-forum.com
sumber : “Heaven,   Hell and Purgatory” by Pope John Paul II; L'Osservatore Romano, Weekly   Edition in English
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar