Api Penyucian 17 - Purgatorium - Purgatory - Purgatorio - 炼狱 - 煉獄 - Liànyù
Tableau de Michel Serre (1658-1733) se trouvant dans l'église Notre-Dame à La Ciotat (Bouches-du-Rhône), représentant la Vierge de grâces et le purgatoire
Apakah Api Penyucian itu Ada?
oleh: P. William P. Saunders *
Baru-baru ini saya membaca bahwa Paus Yohanes Paulus II menekankan pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Saya hampir tak pernah mendengar api penyucian disebut-sebut lagi. Saya bahkan mendengar sebagian orang Katolik mengatakan bahwa kita tidak lagi percaya akan api penyucian sejak Konsili Vatikan II. Bagaimanakah ajaran yang benar?
~ seorang pembaca di Reston
Pada tanggal 17 September 2002, Paus Yohanes Paulus II memang menekankan pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Beliau mengatakan, “Bentuk belas kasih kepada sesama yang pertama dan terutama adalah kerinduan yang besar akan keselamatan kekal mereka…. Cinta kasih Kristiani tak mengenal batas serta melampaui batas-batas ruang dan waktu, sehingga memungkinkan kita untuk mengasihi mereka yang telah meninggalkan dunia ini.” Sebab itu, bukan hanya keyakinan akan api penyucian, melainkan juga kewajiban rohani untuk berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian tetap merupakan bagian dari iman Katolik kita.
Bertentangan dengan apa yang diyakini secara salah oleh sebagian orang, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Konsili Vatikan II menegaskan, “Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran. Konsili suci ini penuh khidmat menerima iman itu, dan menyajikan lagi ketetapan-ketetapan Konsili-konsili suci Nicea II, Florensia dan Trente.” (no. 51)
Di samping itu, Katekismus Gereja Katolik dengan jelas menegaskan keyakinan Gereja akan api penyucian dan pemurnian jiwa sesudah kematian, “Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga. Gereja menamakan penyucian akhir para terpilih, yang sangat berbeda dengan siksa para terkutuk, purgatorium [api penyucian]” (no. 1030-31).
Seperti dinyatakan dalam Vatikan II, Gereja secara konsisten percaya akan pemurnian jiwa sesudah kematian. Keyakinan ini berakar pada Perjanjian Lama. Dalam Kitab Makabe yang Kedua, kita membaca bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan korban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal dengan mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat; Kitab Suci mencatat, “Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya.” (12:42) dan “Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka” (12:45). Ayat ini membuktikan praktek bangsa Yahudi mempersembahkan doa-doa dan korban guna membersihkan jiwa mereka yang telah meninggal.
Tafsir rabiah atas Kitab Suci menegaskan keyakinan ini. Dalam Kitab Zakharia, Tuhan bersabda, “Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas.” Sekolah Rabi Shammai menafsirkan ayat ini sebagai pemurnian jiwa melalui belas kasihan dan kebaikan Tuhan, mempersiapkan jiwa untuk kehidupan kekal. Dalam Kitab Sirakh 7:33 tertulis, “orang mati pun jangan kau kecualikan pula dari kerelaanmu”, ditafsirkan sebagai memohon kepada Tuhan untuk membersihkan jiwa. Singkat kata, Perjanjian Lama dengan jelas menegaskan adanya semacam proses pemurnian bagi jiwa umat beriman setelah mereka meninggal dunia.
Perjanjian Baru hanya memiliki sedikit referensi mengenai penyucian jiwa atau bahkan mengenai surga. Perjanjian Baru lebih berfokus pada pewartaan Injil dan menanti kedatangan Kristus yang kedua kalinya, yang baru kemudian disadari oleh para penulis Kitab Suci dapat terjadi sesudah kematian mereka sendiri. Namun demikian, dalam Matius 12:32 pernyataan Yesus bahwa dosa-dosa tertentu “tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak,” sekurang-kurangnya menimbulkan gambaran akan adanya pemurnian jiwa sesudah kematian. Paus St Gregorius (wafat thn 604) menyatakan, “Untuk dosa-dosa tertentu yang lebih ringan, kita harus percaya bahwa, sebelum Pengadilan Terakhir, terdapat suatu api yang memurnikan. Ia, yang adalah Kebenaran, bersabda bahwa barangsiapa mengucapkan sesuatu menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak. Dari kalimat ini kita mengerti bahwa dosa-dosa tertentu dapat diampuni di dunia ini, tetapi dosa-dosa tertentu lainnya diampuni di dunia yang akan datang.” Demikian juga Konsili Lyon menegaskan tafsiran atas ajaran Kristus ini.
Gereja Perdana melestarikan keyakinan dalam mempersembahkan doa-doa demi pemurnian jiwa. Paus St Gregorius menyatakan, “Janganlah kita ragu-ragu menolong mereka yang telah meninggal dunia dengan mempersembahkan doa-doa kita bagi mereka.” St. Ambrosius (wafat thn 397) menyampaikan khotbahnya, “Kita mengasihi mereka semasa mereka hidup; janganlah kita mengabaikan mereka setelah mereka meninggal, hingga kita menghantar mereka melalui doa-doa kita ke dalam rumah Bapa.” Lagipula, Gereja telah berulangkali menegaskan keyakinan ini, seperti dinyatakan dalam Vatikan II.
Sebenarnya, kunci dari jawaban ini adalah memahami keindahan di balik doktrin api penyucian. Kita percaya bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita kehendak bebas agar kita dapat memilih antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat. Kehendak bebas memungkinkan kita untuk menetapkan satu pilihan yang paling utama - yaitu mengasihi Tuhan. Tindakan dari kehendak bebas ini juga meminta pertanggungjawaban. Apabila kita memilih untuk tidak mengasihi Tuhan, dan dengan demikian berbuat dosa, kita bertanggung jawab atas dosa yang kita buat. Tuhan dalam keadilan-Nya menuntut pertanggungjawaban kita atas dosa-dosa yang demikian. Tetapi, dalam kasih dan kerahiman-Nya, Tuhan menghendaki agar kita didamaikan kembali dengan Diri-Nya dan dengan sesama. Semasa kita hidup di dunia, jika kita sungguh mengasihi Tuhan, kita akan memeriksa batin kita, mengakui dosa-dosa kita, menyatakan sesal atasnya, mengakukan dosa-dosa kita itu, dan menerima absolusi atasnya dalam Sakramen Tobat. Kita melakukan penitensi dan penyangkalan diri lainnya guna memulihkan luka akibat dosa. Dengan berbuat demikian, kita akan terus-menerus mengatakan “ya” kepada Tuhan. Jiwa kita bagaikan sebuah lensa - ketika kita berdosa, kita memburamkan lensa; lensa menjadi kotor dan kita kehilangan fokus kepada Tuhan dalam hidup kita. Melalui pengakuan dosa dan penitensi, Tuhan membersihkan “lensa” jiwa kita. Ketika kita meninggal dunia, jika kita meninggalkan dunia ini dalam ikatan kasih dengan Tuhan, meninggal dalam keadaan rahmat dan persahabatan dengan-Nya, serta bebas dari dosa berat, kita akan memperoleh keselamatan abadi dan menikmati kebahagiaan surgawi - kita akan melihat Tuhan dari muka ke muka. Jika kita meninggal dunia dengan dosa ringan, atau tanpa melakukan penitensi / silih yang cukup bagi dosa-dosa kita, Tuhan dalam kasih, kerahiman, dan keadilan-Nya akan memurnikan jiwa, “membersihkan lensa”. Setelah pemurnian, barulah jiwa akan dipersatukan dengan Tuhan di surga dan menikmati kebahagiaan surgawi.
Protestan mengalami kesulitan dengan doktrin api penyucian karena dua alasan utama: Pertama, ketika Martin Luther menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1532, ia mengeluarkan tujuh Kitab dari Perjanjian Lama, termasuk kedua Kitab Makabe, di mana setidak-tidaknya pemurnian jiwa dinyatakan secara samar. Kedua, John Calvin mengajarkan bahwa kita telah kehilangan kehendak bebas kita karena dosa asal dan bahwa Tuhan telah menentukan sebelumnya apakah suatu jiwa akan diselamatkan atau dikutuk; karena itu, jika kita tak dapat memilih untuk berbuat dosa dan jika nasib abadi kita sudah ditentukan, siapakah yang membutuhkan api penyucian? Singkatnya, para pemimpin Protestan menolak ajaran Gereja Kristen yang sudah berabad-abad lamanya itu saat mereka menyangkal doktrin api penyucian.
Dalam “Crossing the Threshold of Hope” Paus Yohanes Paulus II menghubungkan “api kasih” Allah yang bernyala-nyala yang disebut-sebut oleh St. Yohanes dari Salib dengan doktrin api penyucian: “Api kasih yang bernyala-nyala” yang dibicarakan oleh St Yohanes, terutama sekali merupakan api yang memurnikan. Malam-malam gelap yang digambarkan oleh Doktor Gereja yang mengagumkan ini berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri, serupa, dalam arti tertentu, dengan api penyucian. Tuhan membuat manusia melewati penyucian batin yang demikian dari hawa nafsu dan kodrat rohaninya guna membawanya ke dalam persatuan dengan Diri-Nya Sendiri. Di sini, kita tidak mendapati diri kita di hadapan suatu pengadilan belaka. Kita menghadirkan diri di hadapan kuasa kasih itu sendiri. Dan yang terutama, kasihlah yang menghakimi. Tuhan, yang adalah kasih, menghakimi lewat kasih. Kasihlah yang menuntut pemurnian, sebelum manusia menjadi siap untuk bersatu dengan Tuhan yang adalah panggilan dan kodratnya yang utama.”
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Does Purgatory Exist?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar