Eskatologi 19 - Eschatology - 末世论 - 末世論 - Mò shìlùn
  Surga, Neraka dan Api   Penyucian
  oleh: Paus Yohanes Paulus   II
  Dalam tiga   audiensinya yang kontroversial, Bapa Suci Yohanes Paulus II menjelaskan   bahwa karakteristik utama dari surga, neraka ataupun api penyucian adalah   bahwa ketiganya lebih merupakan keadaan makhluk rohani (malaikat / iblis)   atau jiwa manusia, daripada tempat, seperti yang pada umumnya dimengerti dan   digambarkan dalam bahasa manusia. Istilah `tempat', menurut Paus, kurang   sesuai untuk menggambarkan realitas sebenarnya, karena tempat terikat pada   keadaan duniawi di mana dunia ini dan kita berada. Dalam hal ini beliau   mempergunakan kategori-kategori filsafat yang dipergunakan Gereja dalam   teologinya dan mengatakan apa yang dikatakan St Thomas Aquinas jauh   sebelumnya.
    “Makhluk-makhluk rohani tidak berada di suatu tempat seperti yang kita   ketahui atau kita kenal, sebagaimana kita dapat mengatakan bahwa tubuh   manusia ada di sini atau di sana; tetapi keberadaan mereka sesuai bagi   kodrat rohani, yang tak dapat sepenuhnya diungkapkan kepada kita.” [St   Thomas Aquinas, Summa Theologiae, Supplement, Q69, a1, reply 1]  
  Surga   adalah Persekutuan Penuh dengan Tuhan
  Surga   sebagai persekutuan penuh dengan Tuhan adalah tema katekese Bapa Suci pada   Audiensi Umum tanggal 21 Juli 1999. Surga “bukanlah suatu tempat abstrak   ataupun fisik di awan-awan, melainkan suatu hubungan pribadi yang hidup   dengan Tritunggal Mahakudus. Surga adalah perjumpaan kita dengan Bapa yang   terjadi dalam Kristus yang bangkit melalui persekutuan Roh Kudus,” demikian   kata Paus.
  1.  Ketika   tubuh duniawi ini berakhir, mereka yang menyambut Tuhan dalam hidup mereka   dan dengan tulus hati membuka diri terhadap kasih-Nya, setidak-tidaknya pada   saat ajal, akan menikmati persekutuan penuh dengan Tuhan yang adalah tujuan   hidup manusia.
  Seperti   diajarkan dalam Katekismus Gereja Katolik, “Kehidupan yang sempurna bersama   Tritunggal Mahakudus ini, persekutuan kehidupan dan cinta bersama Allah,   bersama Perawan Maria, bersama para malaikat dan orang kudus, dinamakan   `surga'. Surga adalah tujuan terakhir dan pemenuhan kerinduan terdalam   manusia, keadaan bahagia tertinggi dan definitif.” (no. 1024)
  Pada hari   ini kita akan berusaha memahami arti biblis dari “surga”, guna mendapatkan   pemahaman yang lebih baik akan realitas yang dimaksudkan di dalamnya.  
  2. Dalam   bahasa biblis “surga” atau terkadang disebut “langit”, apabila dipadukan   dengan “bumi”, menyatakan bagian dari alam semesta. Kitab Suci mencatat   tentang penciptaan, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej   1:1).
  Surga   adalah Tempat Kediaman Allah yang Hidup  
  Dalam   bahasa kiasan, “surga / langit” dimengerti sebagai tempat kediaman Allah,   yang dengan demikian berbeda dari manusia (bdk. Mzm 104:2dst; 115:16; Yes   66:1). Allah melihat dan mengadili dari ketinggian langit (bdk. Mzm 113:4-9)   dan turun apabila orang berseru kepada-Nya (bdk. Mzm 18:10, 11; 144:5).   Namun demikian, kiasan biblis menjadikan jelas bahwa Tuhan tidak   mengidentifikasikan Diri-Nya sebagai surga / langit, ataupun Ia termuat di   dalamnya (bdk. 1Raj 8:27); dan memang benarlah demikian, meskipun dalam   beberapa ayat dalam Kitab Pertama Makabe “surga” merupakan salah satu nama   bagi Tuhan (1Mak 3:18, 19, 50, 60; 4:24,55). 
  Gambaran   surga sebagai tempat kediaman mengagumkan dari Allah yang hidup dihubungkan   dengan tempat di mana umat beriman, melalui rahmat Tuhan, dapat juga naik,   seperti kita lihat dalam Perjanjian Lama tentang kisah Henokh (bdk. Kej   5:24) dan kisah Elia (bdk 2Raj 2:11). Dengan demikian, surga menjadi suatu   gambaran akan hidup dalam Tuhan. Mengenai hal ini, Yesus berbicara tentang  “upah di sorga” (Mat 5:12) dan mendorong kita untuk “mengumpulkan   harta di surga” (Mat 6:20; 19:21). 
  3.   Perjanjian Baru mempertegas gagasan akan surga dalam hubungannya dengan   misteri Kristus. Guna menunjukkan bahwa kurban Sang Penebus memiliki nilai   yang sempurna dan definitif, Surat kepada Jemaat di Ibrani mengatakan bahwa   Yesus “telah melintasi semua langit” (Ibr 4:14), dan “bukan masuk   ke dalam tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya merupakan gambaran   saja dari yang sebenarnya, tetapi ke dalam sorga sendiri” (Ibr 9:24).   Karena umat beriman dikasihi secara istimewa oleh Bapa, mereka diangkat   bersama Kristus dan dijadikan warga surgawi. Pantaslah kita mendengarkan apa   yang dikatakan Rasul Paulus kepada kita tentang hal ini dalam suatu ayat   yang sangat mantap, “Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya   yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita   bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh   kesalahan-kesalahan kita --oleh kasih karunia kamu diselamatkan-- dan di   dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat   bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang akan datang Ia   menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah   sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus” (Ef 2:4-7).   Kebapaan Allah, yang kaya dengan belas kasih, dialami makhluk ciptaan   melalui kasih Putra Allah yang disalibkan dan bangkit, yang duduk di surga   di sebelah kanan Bapa sebagai Raja.
  4. Setelah   masa hidup kita di dunia, partisipasi dalam persekutuan penuh dengan Bapa   menjadi nyata melalui keikutsertaan kita dalam misteri paskah Kristus. St.   Paulus menekankan perjumpaan kita dengan Kristus di surga pada akhir jaman   dengan suatu gambaran tempat yang jelas, “sesudah itu, kita yang hidup,   yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan   menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya   bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain   dengan perkataan-perkataan ini” (1Tes 4:17-18). 
  Kehidupan   Sakramental Merupakan Antisipasi Surga
  Dalam   konteks Wahyu, kita tahu bahwa “surga” atau “kebahagiaan” yang akan menjadi   milik kita bukan merupakan suatu tempat abstrak ataupun fisik di awan-awan,   melainkan suatu hubungan pribadi yang hidup dengan Tritunggal Mahakudus.   Surga adalah perjumpaan kita dengan Bapa yang terjadi dalam Kristus yang   bangkit melalui persekutuan Roh Kudus.
  Senantiasa   penting untuk menjaga batasan tertentu dalam menjabarkan “realitas-realitas   pokok” ini sebab gambaran tentangnya senantiasa tak memuaskan. Sekarang,   ahli bahasa dengan lebih tepat menggambarkan keadaan bahagia dan damai yang   akan kita nikmati dalam persekutuan definitif kita dengan Tuhan.
  Katekismus   Gereja Katolik meringkas ajaran Gereja akan kebenaran ini, “Oleh kematian   dan kebangkitan-Nya, Yesus Kristus telah `membuka' surga bagi kita.   Kehidupan orang bahagia berarti memiliki secara penuh buah penebusan oleh   Kristus. Ia mengundang mereka, yang selalu percaya kepada-Nya dan tetap   setia kepada kehendak-Nya, mengambil bagian dalam kemuliaan surgawi-Nya.   Surga adalah persekutuan bahagia dari semua mereka yang bergabung sepenuhnya   dengan Dia” (no. 1026).
  5. Akan   tetapi, keadaan akhir ini dapat diantisipasi dengan suatu cara sekarang ini   melalui kehidupan sakramental, yang pusatnya adalah Ekaristi, dan melalui   rahmat pribadi lewat belas kasih persaudaraan. Jika kita dapat menikmati   secara pantas hal-hal baik yang Tuhan limpahkan kepada kita setiap hari,   kita telah memulai pengalaman akan sukacita dan damai itu yang suatu hari   kelak akan sepenuhnya menjadi milik kita. Kita tahu bahwa di dunia ini   segala sesuatu ada batasnya, tetapi pemikiran akan realitas-realitas yang   “pokok” akan membantu kita untuk menghayati dengan lebih baik   realitas-realitas sebelum keadaan akhir tersebut. Kita tahu bahwa sementara   kita melewatkan hidup di dunia ini, kita dipanggil untuk mencari “perkara   yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kol 3:1),   agar dapat bersama-Nya dalam kepenuhan akhirat, ketika Roh Kudus akan   mendamaikan sepenuhnya dengan Bapa “segala sesuatu dengan diri-Nya, baik   yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga” (Kol 1:20).
  Neraka   adalah Keadaan Mereka yang Menolak Tuhan
  Dalam   Audiensi Umum pada hari Rabu, 28 Juli 1999, Bapa Suci merefleksikan neraka   sebagai penolakan definitif terhadap Tuhan. Dalam katekesenya, Paus   mengatakan bahwa kita harus berhati-hati dalam menafsirkan secara tepat   gambaran-gambaran akan neraka dalam Kitab Suci. Selanjutnya, beliau   menjeaskan bahwa “neraka merupakan konsekuensi pokok dari dosa itu sendiri….   Daripada tempat, neraka lebih menyatakan keadaan mereka yang secara bebas   dan definitif memisahkan diri dari Tuhan, sumber dari segala kehidupan dan   kebahagiaan.”
  1. Tuhan   adalah Bapa yang mahabaik dan belas kasihan-Nya tak terbatas. Tetapi   manusia, yang dipanggil untuk menanggapi kasih-Nya secara bebas, sayangnya   dapat memilih untuk menolak kasih dan pengampunan-Nya sekali untuk   selama-lamanya, dengan demikian memisahkan diri selamanya dari persekutuan   bahagia dengan-Nya. Situasi tragis inilah yang dijelaskan ajaran kristiani   ketika Gereja berbicara mengenai siksa abadi atau neraka. Neraka bukanlah   suatu penghukuman yang ditetapkan secara sepihak oleh Tuhan, melainkan   kelanjutan dari penolakan yang dilakukan manusia semasa hidupnya. Dahsyatnya   ketidakbahagiaan yang terjadi akibat kondisi yang tak kita pahami ini,   dengan suatu cara dapat dimengerti dalam terang pengalaman-pengalaman buruk   yang kita alami, yang biasa disebut sebagai hidup dalam “neraka”.
  Namun   demikian, dalam arti teologis, neraka merupakan sesuatu yang lain: yaitu   konsekuensi pokok dari dosa itu sendiri, yang berbalik melawan orang yang   melakukannya. Neraka adalah keadaan mereka yang secara definitif menolak   belas kasih Bapa, bahkan pada saat akhir hidup mereka.
  Neraka   adalah Keadaan Siksa Abadi
  2. Guna   menggambarkan realitas ini, Kitab Suci mempergunakan bahasa simbolik yang   secara perlahan-lahan akan dijelaskan kemudian. Dalam Perjanjian Lama,   kondisi mereka yang meninggal belum sepenuhnya diungkapkan dengan Wahyu.   Lagipula, dianggap bahwa mereka yang meninggal dihimpun dalam Sheol, suatu   daerah kegelapan (bdk Yeh 28:8; 31:14; Ayb 10:21-22; 38:17; Mzm 30:10;   88:7,13), suatu jurang di mana tak seorang pun dapat naik (bdk. Ayb 7:9),   suatu tempat di mana tak mungkin memuliakan Allah (bdk. Yes 38:18; Mzm 6:6).
  Perjanjian   Baru memberi terang baru pada kondisi mereka yang meninggal, mewartakan di   atas segalanya bahwa Kristus dengan kebangkitan-Nya telah mengalahkan maut   dan meluaskan kuasa-Nya hingga ke kerajaan maut.
  Namun   demikian, Penebusan tetap merupakan suatu tawaran keselamatan yang adalah   merupakan pilihan bebas manusia untuk menerimanya. Itulah sebabnya mengapa   mereka semua akan dihakimi “menurut perbuatannya” (Why 20:13). Dengan   menggunakan gambaran-gambaran, Perjanjian Baru menghadirkan tempat yang   ditetapkan bagi mereka yang jahat sebagai api yang bernyala-nyala, di mana   akan terdapat “ratapan dan kertakan gigi” (Mat 13:42; bdk. 25:30, 41),   atau seperti Gehenna dengan “api yang tak terpadamkan” (Mrk 9:43).   Semuanya ini dikisahkan dalam perumpamaan tentang orang kaya, di mana   dijelaskan bahwa neraka merupakan suatu tempat siksa abadi, tanpa   kemungkinan untuk kembali, ataupun mendapatkan keringanan atas sengsara   mereka (Luk 16:19-31).
  Kitab Wahyu   juga secara simbolik menggambarkan suatu “lautan api” di mana mereka yang   memisahkan diri dari kitab kehidupan akan menemui “kematian yang kedua”   (Why 20:13 dst). Oleh sebab itu, mereka yang terus menutup diri terhadap   Injil mempersiapkan bagi dirinya sendiri “kebinasaan selama-lamanya,   dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya” (2Tes 1:9).
  3. Gambaran   akan neraka yang dihadirkan Kitab Suci bagi kita haruslah ditafsirkan secara   benar. Gambaran-gambaran tersebut menunjukkan keputusasaan yang ngeri dan   kehampaan hidup tanpa Tuhan. Daripada* tempat, neraka lebih menyatakan   keadaan mereka yang secara bebas dan definitif memisahkan diri dari Tuhan,   sumber segala kehidupan dan kebahagiaan. Katekismus Gereja Katolik meringkas   kebenaran iman ini, “Mati dalam dosa berat, tanpa menyesalkannya dan tanpa   menerima cinta Allah yang berbelaskasihan, berarti tinggal terpisah dari-Nya   untuk selama-lamanya oleh keputusan sendiri secara bebas. Keadaan pengucilan   diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus   ini, dinamakan `neraka'” (no. 1033).
  Karenanya,   “siksa abadi” tidak berasal dari kehendak Allah, sebab dalam cinta-Nya yang   berbelas kasihan, Ia hanya menghendaki keselamatan dari makhluk-makhuk yang   diciptakan-Nya. Dalam kenyataannya, makhluk ciptaan itu sendirilah yang   menutup diri terhadap kasih-Nya. Kutuk secara tepat merupakan perpisahan   definitif dari Tuhan, yang dipilih manusia secara bebas dan dipertegas   dengan kematiannya yang memeteraikan pilihannya untuk selamanya. Pengadilan   Tuhan mengesahkan keadaan ini.
  Kita   diselamatkan dari neraka oleh Yesus yang mengalahkan Setan
  4. Iman   Kristiani mengajarkan bahwa dalam mengambil resiko mengatakan “ya” atau   “tidak”, yang menandai kebebasan makhluk ciptaan, sebagian ciptaan telah   mengatakan tidak. Mereka adalah makhluk-makhluk rohani yang berontak melawan   kasih Allah dan disebut setan (bdk. Konsili Lateran IV, DS 800-801). Apa   yang terjadi terhadap mereka merupakan peringatan bagi kita: suatu panggilan   terus-menerus untuk menghindari tragedi yang menghantar kepada dosa dan   menyesuaikan hidup kita dengan hidup Yesus yang menghayati hidup-Nya dengan   suatu jawaban “ya” terhadap Tuhan.
  Siksa abadi   tetap merupakan suatu kemungkinan yang nyata, namun demikian kita tidak   dianugerahi, tanpa wahyu Ilahi khusus, pengetahuan apakah seseorang atau   orang manakah yang terlibat secara efektif di dalamnya. Pemikiran tentang   neraka - dan bahkan tanpa penggunaan gambar-gambar biblis yang kurang sesuai   - janganlah sampai menimbulkan kecemasan ataupun keputusasaan, melainkan   sebagai suatu pengingat yang penting dan sehat akan kebebasan, dalam   mewartakan bahwa Kristus yang bangkit telah mengalahkan setan dan   menganugerahkan kepada kita Roh Allah yang memungkinkan kita berseru, “ya   Abba, ya Bapa!” (Rm 8:15; Gal 4:6).
  Gagasan   ini, yang kaya akan pengharapan, berlaku dalam pewartaan kristiani dan   secara efektif direfleksikan dalam tradisi liturgi Gereja seperti ditegaskan   dalam kata-kata Kanon Romawi ini, “Terimalah dengan rela persembahan   umat-Mu. Bimbinglah jalan hidup kami, dan selamatkanlah kami dari hukuman   abadi agar tetap menjadi umat kesayangan-Mu.”
  * [Catatan:   dalam bahasa aslinya, Italia, disebutkan “(Più che) Daripada tempat, neraka   lebih menyatakan …” Pernyataan ini mengemukakan dengan tepat bahwa meskipun   neraka pada dasarnya bukanlah “suatu tempat”, melainkan lebih merupakan   kehilangan Allah secara definitif, tercakup juga di dalamnya kurungan /   penjara. Dengan demikian, setelah kebangkitan umum tubuh para terkutuk,   dalam rupa tubuh dan bukan roh, mereka tentunya berada di “suatu tempat” di   mana mereka akan menerima siksa api.
  Api   Penyucian adalah Pemurnian yang Diperlukan
  Sebelum   kita masuk dalam persekutuan penuh dengan Tuhan, setiap noda dosa dalam diri   kita harus dihapuskan dan setiap ketidaksempurnaan jiwa harus disempurnakan.
  Dalam   Audiensi Umum pada hari Rabu, 4 Agustus 1999, sebagai kelanjutan dari   katekese beliau mengenai surga dan neraka, Bapa Suci merefleksikan api   penyucian. Beliau menjelaskan bahwa integritas fisik diperlukan untuk masuk   dalam persekutuan sempurna dengan Tuhan. Oleh sebab itu, “istilah api   penyucian tidak menyatakan suatu tempat, melainkan suatu kondisi keadaan”,   di mana Kristus “menghapus… sisa-sisa ketidaksempurnaan.”
  1. Seperti   telah kita lihat dalam kedua katekese terdahulu, atas dasar pilihan   definitif menerima atau menolak Tuhan, manusia mendapati dirinya menghadapi   salah satu dari alternatif berikut: hidup bersama Tuhan dalam kebahagiaan   kekal, atau tetap jauh dari hadirat-Nya.
  Bagi mereka   yang mendapati diri dalam kondisi terbuka terhadap Tuhan, namun masih belum   sempurna, ziarah menuju kebahagiaan penuh menuntut suatu pemurnian, yang   dijelaskan iman Gereja dalam doktrin “Purgatorium” (bdk. Katekismus Gereja   Katolik no. 1030-1032).
  Agar dapat   ikut serta dalam kehidupan Ilahi, kita harus sepenuhnya dimurnikan
  2. Dalam   Kitab Suci, kita dapat menangkap bagian-bagian tertentu yang membantu kita   memahami arti ajaran ini, meskipun tidak digambarkan secara formal.   Bagian-bagian tersebut mengungkapkan keyakinan bahwa kita tak dapat datang   kepada Tuhan tanpa melewati semacam pemurnian.
  Menurut   hukum agama Perjanjian Lama, apa yang diperuntukkan bagi Tuhan haruslah   sempurna. Sebab itu, integritas fisik juga dituntut secara khusus dari   hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan pada tingkat persembahan seperti,   misalnya, binatang-binatang kurban (bdk. Im 22:22) atau pada tingkat   kelembagaan, seperti pada kasus para imam ataupun pelayan mezbah (bdk. Im   21:17-23). Pengabdian total terhadap Allah Perjanjian, senantiasa diajarkan   seperti didapati dalam Kitab Ulangan (bdk. Ul 6:5), dan yang harus sesuai   dengan integritas fisik ini, dituntut dari masing-masing individu dan   masyarakat sebagai suatu komunitas (bdk 1Raj 8:61), yaitu mengasihi Tuhan   dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan berpegang pada   perintah dan ketetapan TUHAN (bdk. Ul 10;12 dst).   
  Perlunya   integritas tak pelak lagi menjadi sangat penting sesudah kematian, agar   dapat masuk ke dalam persekutuan sempurna dan sepenuhnya dengan Tuhan.   Mereka yang tidak memiliki integritas ini harus menjalani pemurnian. Hal ini   dijelaskan dalam tulisan St Paulus. Rasul Paulus berbicara mengenai nilai   pekerjaan tiap-tiap orang yang akan dinyatakan pada hari pengadilan dan   mengatakan, “Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan   mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian,   tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api” (1Kor   3:14-15).
  3.   Adakalanya, guna mencapai keadaan integritas yang sempurna, dibutuhkan   perantaraan seseorang. Sebagai contoh, Musa memperolehkan pengampunan bagi   bangsanya dengan doa di mana ia mengingatkan kembali karya penyelamatan yang   dilakukan Tuhan di masa lampau, dan berdoa mohon kesetiaan Tuhan atas   sumpah-Nya kepada nenek-moyangnya (bdk. Kel 32:30, 11-13). Sosok Hamba   Tuhan, seperti dilukiskan dalam Kitab Yesaya, juga digambarkan bahwa dengan   peran pengantaraannya dan penebusannya bagi banyak orang, pada akhir   sengsaranya ia “akan melihat terang” dan “akan membenarkan banyak   orang”, kejahatan mereka dia pikul (bdk. Yes 52:13-53:12, khususnya ay   53:11). 
  Mazmur 51   dapat dianggap, menurut sudut pandang Perjanjian Lama, sebagai suatu   perpaduan dari proses menuju kesempurnaan: pendosa mengakui dan sadar akan   kesalahannya (ay 5), mohon dengan sangat agar dimurnikan atau “dibersihkan”   (ay 4, 9, 11-12, 19) agar dapat mewartakan puji-pujian kepada Allah (ay 17).  
  Purgatorium   bukan suatu tempat, melainkan suatu kondisi keadaan.
  4. Dalam   Perjanjian Baru, Kristus ditampilkan sebagai Pengantara yang menjabat peran   Imam Agung pada hari pengadilan (Ibr 5:6; 7:25). Tetapi, dalam Dia, imamat   dihadirkan dalam bentuk yang baru dan definitif. Ia masuk ke dalam sorga   sekali saja untuk selamanya, untuk menjadi pengantara kita kepada Allah   (bdk. Ibr 9:23-26, khususnya ay 24). Ia sekaligus Imam Agung dan “korban   silih” bagi dosa-dosa seluruh dunia (1Yoh 2:2). 
  Yesus,   sebagai pengantara agung yang menebus kita, akan sepenuhnya menyatakan diri   pada akhir hidup kita ketika Ia akan mengungkapkan Diri-Nya dengan tawaran   belas kasihan, tetapi juga dengan pengadilan yang tak terelakkan bagi mereka   yang menolak kasih dan pengampunan Bapa.
  Tawaran   belas kasihan ini tidak meniadakan kewajiban kita untuk menghadirkan diri di   hadirat Allah dengan murni dan seutuhnya, penuh dengan kasih yang disebut   Paulus sebagai “pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol   3:14). 
  5. Dalam   mengikuti dorongan Injil untuk menjadi sempurna seperti Bapa Surgawi (bdk.   Mat 5;48) semasa kita hidup di dunia, kita dipanggil untuk bertumbuh dalam   kasih, untuk tak bercacat dan kudus di hadapan Allah Bapa “pada waktu   kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya. (1Tes 3:12 dst).   Lagipula, kita diundang untuk “menyucikan diri kita dari semua pencemaran   jasmani dan rohani” (2Kor 2:1; bdk. 1Yoh 3:3), sebab perjumpaan dengan   Allah menuntut kesucian sepenuhnya.
  Setiap   kelekatan terhadap kejahatan harus dihapuskan, setiap ketidaksempurnaan jiwa   harus disempurnakan. Pemurnian harus dilaksanakan sepenuhnya, dan sungguh,   inilah yang dimaksudkan dengan ajaran Gereja mengenai api penyucian. Istilah   api penyucian tidak menyatakan suatu tempat, melainkan suatu kondisi   keadaan. Mereka yang, setelah kematian, berada dalam keadaan pemurnian,   telah berada dalam kasih Kristus yang menghapuskan dari diri mereka segala   sisa-sisa ketidaksempurnaan (bdk. Konsili Ekumenis Firense, Decretum pro   Graecis:  DS 1304; Konsili Ekumenis Trente, Decretum de iustificatione:  DS   1580; Decretum de purgatorio:  DS 1820). 
  Penting   dijelaskan bahwa keadaan pemurnian bukanlah suatu perpanjangan dari kondisi   duniawi, hampir seakan-akan setelah kematian orang diberi kesempatan lain   untuk mengubah nasibnya. Ajaran Gereja dalam hal ini tegas, dipertegas lagi   oleh Konsili Vatikan II yang mengajarkan, “Tetapi karena kita tidak   mengetahui hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga   terus-menerus, agar setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya   satu kali saja (bdk. Ibr 9:27), kita bersama dengan-Nya memasuki pesta   pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati, dan supaya   janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas diperintahkan enyah ke   dalam api yang kekal, ke dalam kegelapan di luar, di tempat `ratapan dan   kertakan gigi' (Mat 22:13 dan 25:30)” (Lumen Gentium no. 48)
  6. Satu   aspek penting terakhir yang senantiasa ditunjukkan oleh tradisi Gereja   hendaknya kini digiatkan kembali: dimensi “communio”. Sesungguhnya, mereka   yang mendapati diri berada dalam keadaan pemurnian, dipersatukan baik dengan   para kudus yang telah menikmati kepenuhan kehidupan kekal, dan dengan kita   di bumi yang sedang dalam perjalanan menuju rumah Bapa (bdk. CCC, no. 1032).
  Sama   seperti dalam kehidupan mereka di dunia umat beriman dipersatukan dalam satu   Tubuh Mistik, demikian pula setelah kematian, mereka yang berada dalam   keadaan pemurnian menikmati kesetiakawanan gerejani yang sama, yang bekerja   melalui doa, doa-doa silih dan kasih bagi sesama saudara dan saudari dalam   iman. Pemurnian berada dalam ikatan pokok yang tercipta antara mereka yang   hidup di dunia ini dan mereka yang telah menikmati kebahagiaan kekal.
  sumber : “Heaven,   Hell and Purgatory” by Pope John Paul II; L'Osservatore Romano, Weekly   Edition in English
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar